Monday, January 21, 2013

Merevitalisasi bahasa yang terancam punah di NTT

http://www.indomedia.com/poskup/2008/02/21/edisi21/opini.htm
http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies/message/9665

Merevitalisasi bahasa yang terancam punah di NTT
 

(Memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional) Oleh : Jermy I Balukh*
Opini Pos Kupang 21 Februari 2008

SEJAK tahun 1951, UNESCO memberi imbauan agar bahasa-bahasa daerah digunakan di lingkungan pendidikan. Ini dilakukan demi menyelamatkan bahasa-bahasa daerah yang terancam punah. Menurut catatan UNESCO yang dikumpulkan sejak tahun 1951, setiap tahun sedikitnya ada 10 bahasa punah. Untuk menindaklanjuti imbauan itu, maka pada tanggal 17 November 1999, UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional (International Mother Language Day). Mengapa tanggal 21 Februari yang dipilih? Sejarah membuktikan bahwa pada tanggal 21 Februari 1952 terjadi sebuah gerakan (protes) oleh orang-orang Pakistan Timur karena bahasa Bengali (bahasa ibu mereka) tidak dijadikan bahasa nasional, padahal bahasa tersebut memiliki penutur hingga 56%. Justru bahasa Urdu yang memiliki penutur hanya sekitar 6% dari jumlah penduduk dipilih sebagai bahasa nasional. Protes yang dilakukan oleh para mahasiswa waktu itu ternyata menelan korban. Beberapa mahasiswa tewas tertembak peluru tentara. Untuk mengenang hari tersebut, dibangunlah sebuah monumen yang diberi nama Monumen Shahid Minar. Bahkan, tahun 2008 ditetapkan sebagai Tahun Bahasa oleh PBB dengan tema "Unity in Diversity".

Di Indonesia, bulan Oktober diperingati sebagai bulan bahasa. Hal ini dilakukan untuk mengenang Sumpah Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928, yang salah satu janjinya adalah Satu Bahasa, Bahasa Indonesia. Akan tetapi, di era reformasi bulan Oktober diperingati sebagai bulan bahasa nasional, tentu bukan hanya untuk bahasa Indonesia, tapi bahasa secara umum. Dengan demikian, banyak kegiatan yang dilakukan untuk memperingati bulan bahasa, tidak scara khusus bahasa Indonesia (seperti Kongres Bahasa Indonesia), tapi ada kegiatan yang melibatkan bahasa daerah, bahkan bahasa asing. Sementara itu, kegiatan untuk memperingati bulan bahasa ibu internasional masih belum tercium, khususnya di NTT, bahkan banyak orang (guru/dosen bahasa, pemerhati bahasa dan budaya) belum tahu akan hari yang penting itu.

Walaupun sudah bertahun-tahun berbagai kegiatan seminar, simposium, konferensi, dan kongres telah menampilkan para ahli bahasa, baik senior maupun junior, yang mempresentasikan hasil penelitian mereka tentang hal-ikhwal bahasa daerah, termasuk ancaman kepunahan bahasa, namun semua itu dilakukan masih sebatas pada tataran konsep. Tindakan nyata masih sangat minim (bukan berarti tidak ada). Justru banyak ahli bahasa (linguis) di Indonesia mengetahui kondisi dan karakteristik bahasa-bahasa daerah di negeri sendiri (khususnya NTT) dari para linguis luar negeri, seperti Belanda, Australia, Amerika, Jerman, dan lain-lain. Padahal, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang kaya akan bahasa daerah (sekitar 756 bahasa).

Dari jumlah bahasa daerah di atas, diperkirakan 30% berada di ambang kepunahan (Pos Kupang, 29/10/2007). Sementara itu, di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terdapat sekitar 54 bahasa daerah (yang teridentifikasi). Ini menunjukkan bahwa hampir 10% bahasa daerah di Indonesia berada di NTT. Walaupun demikian, kebanyakan bahasa-bahasa di NTT belum diteliti, apalagi dibukukan dan dipelajari. Ini fenomena yang sangat memrihatinkan karena dengan berkurangnya motivasi untuk mempedulikan dan mempelajari bahasa daerah, yang juga bahasa ibu, maka kepunahan bahasa daerah tak dapat terhindarkan. Pertanyaan yang muncul adalah (1) apa yang menyebabkan sebuah bahasa bisa punah? (2) apa yang mesti dilakukan agar sebuah bahasa terhindar dari ancaman kepunahan? dan (3) mengapa perlu dilakukan tindakan penyelamatan terhadap bahasa daerah? Ketiga pertanyaan tersebut, saya yakin juga merupakan pertanyaan masyarakat luas yang tak terungkapkan. Mungkin masih ada peranyaan-pertanyaan lain. Dalam tulisan ini, saya mencoba membagikan beberapa hal yang dapat menjawab tiga pertanyaan di atas (walaupun belum tuntas).

Mengenai kepunahan Bahasa
Konsep mengenai kepunahan suatu bahasa masih sangat beragam di antara para pakar bahasa. Ada linguis yang menganggap bahwa suatu bahasa dikatakan sekarat atau terancam punah apabila hanya memiliki kurang dari 20.000 penutur. Akan tetapi ada yang mengemukakan bahwa bahasa yang memiliki penutur yang banyak belum bisa dikatakan bahasa yang hidup. David Crystal (2000) dalam bukunya Language Death mengemukakan bahwa lebih dari setengah bahasa-bahasa di dunia merupakan bahasa sekarat (moribund) atau diperkirakan 50% bahasa di dunia akan punah pada 100 tahun mendatang. Dengan demikian, secara matematis logis, rata-rata satu bahasa akan menuju pada kematian setiap dua minggu. Walaupn demikian, merupakan suatu kesulitan membandingkan tingkat kepunahan bahasa. Bahasa mana yang paling sekarat, apakah yang berpenutur 400 dari 500 orang atau 800 dari 1000 orang? Hal ini tergantung pada tingkat pemerolehan bahasa oleh anak-anak, sikap seluruh masyarakat terhadap bahasa, dan tingkat dampak bahasa lain yang mengancamnya.

Untuk mengidentifikasi tingkat kepunahan suatu bahasa, David Crystal mengemukakan lima tahap klasifikasi kondisi 'kesehatan' bahasa. Pertama, bahasa yang berpotensi terancam punah (potentially endangered languages), yakni bahasa-bahasa yang secara sosial dan ekonomi tergolong minoritas dan mendapat tekanan keras dari bahasa mayoritas serta generasi mudanya sudah jarang menggunakan bahasa itu. Kedua, bahasa yang terancam punah (endangered languages), yakni bahasa-bahasa yang tidak lagi memiliki generasi muda yang dapat berbahasa ibu, penutur yang fasih hanyalah kelompok dewasa. Ketiga, bahasa yang sangat terancam punah (seriously endangered languages), yakni bahasa-bahasa yang hanya memiliki penutur yang berusia 50-an tahun. Keempat, bahasa yang sekarat (moribund languages), yakni bahasa-bahasa yang hanya dituturkan oleh beberapa orang yang tergolong sangat tua. Kelima, bahasa yang punah (extinct languages), yakni bahasa-bahasa yang tidak lagi memiliki penutur sama sekali.

Lalu, di posisi manakah bahasa-bahasa daerah di NTT? Ini tentu harus dilihat dengan lebih cermat. Salah satu bahasa daerah di NTT yang sudah punah adalah bahasa Nga'o di Ende. Sementara itu ada bahasa yang terancam punah, seperti bahasa Rongga di Flores, bahasa Helong di Semau, bahasa Ndao di Rote-Ndao, bahasa Bunak dan Kemak di Belu, bahasa Ndeing, Lama, Kula, Sawila di Kepulauan Alor, dan beberapa bahasa di Sumba. Masih banyak yang belum terdeteksi. Ini tugas kita semua. Mengutip Mbete (2000) dalam tulisannya Ancaman Kepunahan dan Ancangan Pemberdayaan Bahasa Lokal, ada dua kekuatan penentu kebertahanan dan kepunahan bahasa, yakni kekuatan internal (internal force) yang berkaitan dengan dinamika struktur dan sistem bahasa, terutama dampak kontak bahasa (konvergensi), dan kekuatan eksternal (external force) yang berkaitan dengan faktor luar bahasa. Faktor-faktor non-bahasa yang mempengaruhi kematian suatu bahasa, yakni (1) perubahan ekologi kebahasaan yang semakin dwibahasa dan aneka bahasa dengan dominasi bahasa-bahasa besar terhadap bahasa kecil, (2) ketidakstabilan kedwibahasaan dan keanekabahasaan, (3) penyusutan fungsi dan peralihan ke bahasa lain, (4) tekanan politik, dan (5) 'hilangnya' penutur aslinya.

Memang, konsep kepunahan bahasa masih sangat beragam. Namun tanda-tanda yang demikian merupakan suatu indikasi bahwa kerapuhan, kepunahan, dan kematian bahasa mulai merasuk sebagian bahasa minoritas di Indonesia, tidak terkecuali NTT. Fenomena ini tidak terlepas dari dinamika bahasa dalam masyarakat yang mengikuti perkembangan globalisasi.
Bagi bahasa lokal yang minoritas di NTT, seperti berada pada persimpangan dalam menghadapi arus perkembangan globalisasi. Ini dapat penulis sebut sebagai "trilema", yakni antara berakar lokal (locally-rooted); upaya melestarikan dan mempertahankan identitas budaya daerah, berjiwa nasional (nationally-minded); mengembangkan nasionalisme bahasa persatuan, dan berwawasan global (globally reached); berupaya meraih jati diri pada level internasional. Kebingungan atau ketidakpastian hidup suatu masyarakat terhadap masa depan bahasa dan budaya asli semakin meningkat tatkala tekanan dan pengaruh modernisasi mewarnai kehidupan generasi muda.
Kenyataan ini membuat generasi muda harus ikut hanyut dalam arus asimilasi budaya. Cara dan gaya hidup modern seperti yang terjadi di negara-negara maju semakin menjadi santapan lezat bagi kaula muda. Budaya tutur yang memiliki nilai estetik tinggi dalam bahasa lokal ternyata sudah sangat asing di telinga generasi pewaris budaya lokal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya rasa percaya diri (self-confidence) terhadap nilai budaya tersebut. Ungkapan-ungkapan yang sangat bernilai sudah diganti dengan istilah-istilah 'gaul' dengan dalih modernisasi atau tren globalisasi.

Lembaga-lembaga keagamaan yang dulunya menjadi pemanfaat bahasa dan budaya lokal dalam kehidupan dan perkembangan agama, kini harus menuruti kehendak 'massanya' yang lebih memilih untuk berbahasa nasional (bahasa Indonesia) atau internasional (bahasa Inggris) daripada bahasa daerah. Tidak heran apabila kenyataan ini muncul ke permukaan. Usaha penyelamatan bahasa daerah melalui lembaga keagamaan, seperti gereja, belum membuahkan hasil (walaupun telah gencar dilakukan, seperti penerjemahan Alkitab dalam bahasa daerah). Berbahasa daerah di kalangan anak usia sekolah pada era Orde Baru (bahkan sekarang masih ada) dianggap 'kampungan atau kolot' oleh para pengajar yang mayoritas berasal dari luar daerah. Larangan berbahasa daerah dengan alasan mendidik generasi muda agar menjadi lebih mendapat wawasan global ternyata membuahkan hasil buruk. Kebijakan pendidikan pun belum mengedepankan usaha pelestarian bahasa daerah. Seringkali orang menganggap bahwa belajar bahasa daerah tak akan membawa banyak manfaat. Yang dibutuhkan oleh seorang anak adalah bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) untuk mencapai jenjang karier tertentu, bukan bahasa daerah. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa seorang anak justru akan lebih fasih mengungkapkan pikirannya jika dia menggunakan bahasa ibunya. Fenomena perubahan kultural-lingual ini sangat menarik untuk dikaji sekaligus merupakan sebuah tantangan bagi para pemerhati bahasa dan budaya minoritas nusantara.
Hilangnya bahasa bukan hilangnya konsep, melainkan yang terjadi adalah orang mengubah perilakunya dan berhenti mentransmisikan bahasanya bagi generasinya. Ini berkaitan dengan masyarakat dan bukan diperlakukan semata-mata sebagai masalah intelektual yang dapat dipecahkan.

Penekanannya pada ekologi dalam karakter, berfokus pada hubungan antara anggota masyarakat, lingkungan dan pikiran, serta perasaan generasi penerus bahasa dan budaya lokal. Jika pembangunan budaya yang multikultural sangat penting, maka peranan bahasa menjadi sangat kritis, karena budaya disalurkan melalui bahasa lisan dan tulisan. Demikian halnya bahasa ibu sama seperti sumber daya alam yang tak dapat diganti apabila sudah hilang dari muka bumi. Jika demikian, warisan budaya leluhur itu perlu dikaji dan ditindaklanjuti dengan upaya strategis untuk mengatasi kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Pelestarian bahasa daerah
Mengutip Mansyur (2007) dalam artikelnya Jangan Sampai Bahasa Ibu Hilang di Bumi, setidaknya ada lima tujuan dari upaya pelestarian bahasa daerah, yakni (1) mewujudkan diversitas budaya, (2) memelihara identitas etnis, (3) memungkinkan adaptibilitas sosial, (4) menambah rasa aman bagi anak secara psikis, dan (5) meningkatkan kepekaan linguistik. Kelima tujuan di atas sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini tidak terlepas dari peran bahasa daerah sebagai sarana atau gudang buah pikiran dan perasaan penutur. Karena itu, membiarkan sebuah bahasa daerah tak terlestarikan dimaknai sebagai sebuah kesengajaan.

Lalu, bagaimana tindakan pelestarian dapat dilakukan? Semua pihak di propinsi ini, tidak terkecuali guyub tutur bahasa daerah, perlu melakukan tindakan nyata. Daerah lain, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, dan beberapa daerah di Sumatera patut dicontohi oleh NTT. Setidak-tidaknya ada lima hal yang harus dilakukan dan diyakini mampu memperkuat kedudukan dan fungsi, bahkan meningkatkan prestise bahasa daerah.

Pertama, pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah (Perda) yang mengatur tentang bahasa daerah setempat. Sebagai contoh bahasa Sunda di Jawa Barat. Pemerintah daerah menerbitkan Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah (termasuk penyusunan bahan ajar muatan lokal), dan dua perda lain yang mengatur tentang pemeliharaan kesenian dan pengelolaan kepurbakalaan. Memang itu penting karena perda dapat menjadi fondasi kebijakan perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah sebagai bagian yang tak terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah. NTT juga memiliki Perda No. 05 Tahun 2001 yang mengatur tentang penelitian dan pembinaan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah. Sejak tahun 2001 pula dilakukan pengkajian bahasa daerah di NTT yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan bahan ajar muatan lokal untuk sekolah dasar (SD). Ini sebuah tindakan top-down yang berharga dan karena itu perlu dihargai. Respon positif yang diharapkan dari guyub tutur untuk menyambut tindakan pemerintah tersebut pun masih minim. Justru yang ditemui oleh anggota tim di lapangan adalah kritikan tanpa ada solusi gemilang. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan top-down perlu memperhatikan apa yang ada di guyub tutur, dibanding bergantung pada giliran proyek yang birokratis dan sarat nuansa koruptif. Kebijakan pemerintah memang penting, namun kerja sama dengan masyarakat penutur lebih penting, dan yang terpenting adalah keterlibatan langsung anggota masyarakat penutur. Hal ini juga selaras dengan tuntutan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun 2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan Pengembangan Bahasa Negara dan Daerah.

Kedua, pemerintah bekerja sama dengan masyarakat mendirikan pusat studi bahasa dan budaya daerah. Pusat ini penting untuk melakukan kajian-kajian yang interdisipliner seputar bahasa dan budaya daerah. Selain itu, pusat ini dapat melakukan pertemuan-pertemuan ilmiah, seperti konferensi, kongres, dan diskusi lainnya dan menghasilkan karya-karya untuk dipromosikan baik dalam negeri maupun luar negeri. Pemikiran para pakar bahasa dan budaya yang dihasilkan dapat dijadikan referensi bagi pemerintah dalam membuat kebijakan.

Ketiga, mendirikan penerbit yang khusus menerbitkan karya-karya anak daerah mengenai bahasa dan budaya maupun kesenian lokal. Dengan demikian, hasil karya anak daerah tidak lagi diurus oleh orang luar yang hampir pasti menelan banyak biaya dengan kualitas yang tidak memuaskan.

Keempat, mendirikan yayasan penyandang dana yang berfungsi melakukan koneksi atau lobi baik di dalam negeri maupun di luar negeri untuk mendapat sponsor demi kelancaran kegiatan kebahasaan. Ini sangat penting karena banyak penyandang dana luar negeri, seperti ELDP (Endangered Languages Development Program) di London, Volkswagen di Jerman, dan masih banyak yang lain, sangat peduli dengan kegiatan kebahasaan (dokumentasi bahasa terancam punah), namun dana-dana yang ada cenderung mengalir ke kantong-kantong perorangan yang sudah go international. Sementara itu, masyarakat pemilik bahasa hanya bisa memandang keheranan, tapi tidak memahami apa yang harus dilakukan.

Kelima, menerbitkan koran atau majalah yang menulis tentang bahasa dan budaya daerah. Memang pers sangat memegang peranan di era modern ini. Walaupun agak sulit menerbitkan koran atau majalah dalam bahasa daerah, tapi ini penting untuk dipertimbangkan. Bahasa-bahasa daerah di NTT pada dasarnya tidak memiliki tradisi tulis. Karena itu, dengan adanya koran, paling tidak, ada sosialisasi sistem tulis bahasa itu. Misalnya, mulai tahun 2000-an dilakukan penelitian bahasa Kupang dan telah menghasilkan terjemahan Alkitab dalam bahasa Kupang. Ini patut dihargai. Akan tetapi, jauh sebelumnya koran lokal Pos Kupang telah memberi ruang untuk bahasa Kupang (walaupun masih kecil) hingga sekarang. Ini menunjukkan bahwa Pos Kupang telah memainkan peranannya dalam melestarikan bahasa Kupang, sesuai dengan nama koran itu. Sementara koran lokal lain?
Kelima hal di atas merupakan proposal yang urgen. Semua pihak, tanpa kecuali, memiliki tanggung jawab dalam upaya pelestarian bahasa daerah. Akan tetapi, pemerintah mesti menjadi 'motor' penggerak. Salah satu strategi yang telah dilakukan oleh pemerintah NTT dan dianggap ampuh dalam upaya pelestarian bahasa daerah adalah bahan ajar muatan lokal (mulok). Ini sesuai dengan isi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 37 ayat 1 yang mewajibkan adanya muatan lokal pada jenjang sekolah sesuai kondisi institusi masing-masing. Dengan adanya mulok, bahasa daerah memiliki kekuatan dalam sistem pendidikan karena sekolah memiliki peranan dalam mengatur kesempatan bagi anak-anak untuk belajar menurut kerikulum. Selain itu, lingkungan sekolah menjadi mediator dalam berbagai situasi sosial, kultural, dan agama. Akan tetapi, sejauh mana keberhasilan mulok tersebut? Hampir tidak ada evaluasi mengenai penerapan mulok yang diyakini sangat beragam, tergantung pada siapa yang memimpin proyek itu.
Agar berbagai upaya yang dijelaskan di atas dapat direalisasikan dengan baik, maka diperlukan kajian yang mendalam dan komprehensif terhadap bahasa daerah. Dengan begitu, tata bahasa dan kamus yang baik dapat dihasilkan untuk pengembangan silabus dan materi mulok. Selain itu, nilai-nilai budaya, seni, dan lain-lain yang ada di daerah tersebut dapat terungkap untuk pengembangan pembangunan baik secara fisik maupun mental. Walaupun demikian, tidak ada program pengajaran yang berjalan dengan baik tanpa materi yang baik dan materi yang baik menjadi tidak berguna tanpa guru yang terlatih. Karena itu, pelatihan terhadap guru mulok juga sangat penting. Guru yang mengajar bahan mulok pun idealnya berasal dari masyarakat penutur bahasa itu dan memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bahasa dan budaya setempat.
Setiap bahasa sempurna dalam dirinya. Bahasa internasional tidak lebih tinggi nilainya dari bahasa nasional dan bahasa daerah. Ketiganya memiliki nilai yang sama sesuai perannya masing-masing. Memang, persoalan mempertahankan bahasa daerah atau merevitalisasi bahasa daerah yang terancam punah sangatlah kompleks, apalagi tuntutan modernisasi sangat tinggi. Namun, apabila disikapi secara baik, maka bahasa daerah, bahasa nasional (Indonesia), dan bahasa internasional (Inggris) menjadi 'tiga batu tungku' dalam perkembangan peradaban bangsa, khususnya nusa kita tercinta, Flobamorata. *

* Lahir di Sedeoen, Rote, 11 Desember 1977. Sehari-hari bekerja sebagai Ketua Jurusan Sastra Inggris STIBA Cakrawala Nusantara Kupang.

No comments:

Post a Comment