http://www.indomedia.com/poskup/2008/02/21/edisi21/opini.htm
http://groups.yahoo.com/group/indonesian-studies/message/9665
Merevitalisasi bahasa yang terancam punah di NTT
(Memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional) Oleh : Jermy I Balukh*
Opini Pos Kupang 21 Februari 2008
SEJAK tahun 1951, UNESCO memberi imbauan agar bahasa-bahasa daerah
digunakan di lingkungan pendidikan. Ini dilakukan demi menyelamatkan
bahasa-bahasa daerah yang terancam punah. Menurut catatan UNESCO yang
dikumpulkan sejak tahun 1951, setiap tahun sedikitnya ada 10 bahasa
punah. Untuk menindaklanjuti imbauan itu, maka pada tanggal 17 November
1999, UNESCO menetapkan tanggal 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu
Internasional (International Mother Language Day). Mengapa tanggal 21
Februari yang dipilih? Sejarah membuktikan bahwa pada tanggal 21
Februari 1952 terjadi sebuah gerakan (protes) oleh orang-orang
Pakistan Timur karena bahasa Bengali (bahasa ibu mereka) tidak dijadikan
bahasa nasional, padahal bahasa tersebut memiliki penutur hingga 56%.
Justru bahasa Urdu yang memiliki penutur hanya sekitar 6% dari jumlah
penduduk dipilih sebagai bahasa nasional. Protes yang dilakukan oleh
para mahasiswa waktu itu ternyata menelan korban. Beberapa mahasiswa
tewas tertembak peluru tentara. Untuk mengenang hari tersebut,
dibangunlah sebuah monumen yang diberi nama Monumen Shahid Minar.
Bahkan, tahun 2008 ditetapkan sebagai Tahun Bahasa oleh PBB dengan tema
"Unity in Diversity".
Di Indonesia, bulan Oktober diperingati
sebagai bulan bahasa. Hal ini dilakukan untuk mengenang Sumpah Pemuda,
tanggal 28 Oktober 1928, yang salah satu janjinya adalah Satu Bahasa,
Bahasa Indonesia. Akan tetapi, di era reformasi bulan Oktober
diperingati sebagai bulan bahasa nasional, tentu bukan hanya untuk
bahasa Indonesia, tapi bahasa secara umum. Dengan demikian, banyak
kegiatan yang dilakukan
untuk memperingati bulan bahasa, tidak scara khusus bahasa Indonesia
(seperti Kongres Bahasa Indonesia), tapi ada kegiatan yang melibatkan
bahasa daerah, bahkan bahasa asing. Sementara itu, kegiatan untuk
memperingati bulan bahasa ibu internasional masih belum tercium,
khususnya di NTT, bahkan banyak orang (guru/dosen bahasa, pemerhati
bahasa dan budaya) belum tahu akan hari yang penting itu.
Walaupun
sudah bertahun-tahun berbagai kegiatan seminar, simposium, konferensi,
dan kongres telah menampilkan para ahli bahasa, baik senior maupun
junior, yang mempresentasikan hasil penelitian mereka tentang hal-ikhwal
bahasa daerah, termasuk ancaman kepunahan bahasa, namun semua itu
dilakukan masih sebatas pada tataran konsep. Tindakan nyata masih sangat
minim (bukan berarti tidak ada). Justru banyak ahli bahasa (linguis) di
Indonesia mengetahui kondisi dan karakteristik bahasa-bahasa daerah di
negeri sendiri (khususnya NTT) dari para linguis luar negeri, seperti
Belanda,
Australia, Amerika, Jerman, dan lain-lain. Padahal, Indonesia merupakan
salah satu negara di dunia yang kaya akan bahasa daerah (sekitar 756
bahasa).
Dari jumlah bahasa daerah di atas, diperkirakan 30%
berada di ambang kepunahan (Pos Kupang, 29/10/2007). Sementara itu, di
Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terdapat sekitar 54 bahasa daerah
(yang teridentifikasi). Ini menunjukkan bahwa hampir 10% bahasa daerah
di Indonesia berada di NTT. Walaupun demikian, kebanyakan bahasa-bahasa
di NTT belum diteliti, apalagi dibukukan dan dipelajari. Ini fenomena
yang sangat memrihatinkan karena dengan berkurangnya motivasi untuk
mempedulikan dan mempelajari bahasa daerah, yang juga bahasa ibu, maka
kepunahan bahasa daerah tak dapat terhindarkan. Pertanyaan yang muncul
adalah (1) apa yang menyebabkan sebuah bahasa bisa punah? (2) apa yang
mesti dilakukan agar sebuah bahasa terhindar dari ancaman kepunahan? dan
(3) mengapa perlu dilakukan tindakan penyelamatan terhadap bahasa
daerah? Ketiga pertanyaan tersebut, saya yakin juga merupakan pertanyaan
masyarakat luas yang tak terungkapkan. Mungkin masih ada
peranyaan-pertanyaan lain. Dalam tulisan ini, saya mencoba membagikan
beberapa hal yang dapat menjawab tiga pertanyaan di atas (walaupun belum
tuntas).
Mengenai kepunahan Bahasa
Konsep mengenai kepunahan suatu bahasa masih sangat beragam di antara
para pakar bahasa. Ada linguis yang menganggap bahwa suatu bahasa
dikatakan sekarat atau terancam punah apabila hanya memiliki kurang dari
20.000 penutur. Akan tetapi ada yang mengemukakan bahwa bahasa yang
memiliki penutur yang banyak belum bisa dikatakan bahasa yang hidup.
David Crystal (2000) dalam bukunya Language Death mengemukakan bahwa
lebih dari setengah bahasa-bahasa di dunia merupakan bahasa sekarat
(moribund) atau diperkirakan 50% bahasa di dunia akan punah pada 100
tahun mendatang. Dengan demikian, secara matematis logis, rata-rata satu
bahasa akan menuju pada kematian setiap dua minggu. Walaupn demikian,
merupakan suatu kesulitan membandingkan tingkat kepunahan bahasa. Bahasa
mana yang paling sekarat, apakah yang berpenutur 400 dari 500 orang
atau 800 dari 1000 orang? Hal ini tergantung pada tingkat pemerolehan
bahasa oleh anak-anak, sikap seluruh masyarakat terhadap bahasa, dan
tingkat dampak bahasa lain yang mengancamnya.
Untuk
mengidentifikasi tingkat kepunahan suatu bahasa, David Crystal
mengemukakan lima tahap klasifikasi kondisi 'kesehatan' bahasa. Pertama,
bahasa yang berpotensi terancam punah (potentially endangered
languages), yakni bahasa-bahasa yang secara sosial dan ekonomi tergolong
minoritas dan mendapat tekanan keras dari bahasa mayoritas serta
generasi mudanya sudah jarang menggunakan bahasa itu. Kedua, bahasa yang
terancam punah (endangered languages), yakni bahasa-bahasa yang tidak
lagi memiliki
generasi muda yang dapat berbahasa ibu, penutur yang fasih hanyalah
kelompok dewasa. Ketiga, bahasa yang sangat terancam punah (seriously
endangered languages), yakni bahasa-bahasa yang hanya memiliki penutur
yang berusia 50-an tahun. Keempat, bahasa yang sekarat (moribund
languages), yakni bahasa-bahasa yang hanya dituturkan oleh beberapa
orang yang tergolong sangat tua. Kelima, bahasa yang punah (extinct
languages), yakni bahasa-bahasa yang tidak lagi memiliki penutur sama
sekali.
Lalu, di posisi manakah bahasa-bahasa daerah di NTT? Ini
tentu harus dilihat dengan lebih cermat. Salah satu bahasa daerah di NTT
yang sudah punah adalah bahasa Nga'o di Ende. Sementara itu ada bahasa
yang terancam punah, seperti bahasa Rongga di Flores, bahasa Helong di
Semau, bahasa Ndao di Rote-Ndao, bahasa Bunak dan Kemak di Belu, bahasa
Ndeing, Lama, Kula, Sawila di Kepulauan Alor, dan beberapa bahasa di
Sumba. Masih banyak yang belum terdeteksi. Ini tugas kita semua.
Mengutip Mbete
(2000) dalam tulisannya Ancaman Kepunahan dan Ancangan Pemberdayaan
Bahasa Lokal, ada dua kekuatan penentu kebertahanan dan kepunahan
bahasa, yakni kekuatan internal (internal force) yang berkaitan dengan
dinamika struktur dan sistem bahasa, terutama dampak kontak bahasa
(konvergensi), dan kekuatan eksternal (external force) yang berkaitan
dengan faktor luar bahasa. Faktor-faktor non-bahasa yang mempengaruhi
kematian suatu bahasa, yakni (1) perubahan ekologi kebahasaan yang
semakin dwibahasa dan aneka bahasa dengan dominasi bahasa-bahasa besar
terhadap bahasa kecil, (2) ketidakstabilan kedwibahasaan dan
keanekabahasaan, (3) penyusutan fungsi dan peralihan ke bahasa lain, (4)
tekanan politik, dan (5) 'hilangnya' penutur aslinya.
Memang,
konsep kepunahan bahasa masih sangat beragam. Namun tanda-tanda yang
demikian merupakan suatu indikasi bahwa kerapuhan, kepunahan, dan
kematian bahasa mulai merasuk sebagian bahasa minoritas di Indonesia,
tidak terkecuali NTT.
Fenomena ini tidak terlepas dari dinamika bahasa dalam masyarakat yang
mengikuti perkembangan globalisasi.
Bagi bahasa lokal yang
minoritas di NTT, seperti berada pada persimpangan dalam menghadapi arus
perkembangan globalisasi. Ini dapat penulis sebut sebagai "trilema",
yakni antara berakar lokal (locally-rooted); upaya melestarikan dan
mempertahankan identitas budaya daerah, berjiwa nasional
(nationally-minded); mengembangkan nasionalisme bahasa persatuan, dan
berwawasan global (globally reached); berupaya meraih jati diri pada
level internasional. Kebingungan atau ketidakpastian hidup suatu
masyarakat terhadap masa depan bahasa dan budaya asli semakin meningkat
tatkala tekanan dan pengaruh modernisasi mewarnai kehidupan generasi
muda.
Kenyataan ini membuat generasi muda harus ikut hanyut dalam
arus asimilasi budaya. Cara dan gaya hidup modern seperti yang terjadi
di negara-negara maju semakin menjadi santapan lezat bagi kaula muda.
Budaya tutur yang
memiliki nilai estetik tinggi dalam bahasa lokal ternyata sudah sangat
asing di telinga generasi pewaris budaya lokal. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya rasa percaya diri (self-confidence) terhadap nilai budaya
tersebut. Ungkapan-ungkapan yang sangat bernilai sudah diganti dengan
istilah-istilah 'gaul' dengan dalih modernisasi atau tren globalisasi.
Lembaga-lembaga
keagamaan yang dulunya menjadi pemanfaat bahasa dan budaya lokal dalam
kehidupan dan perkembangan agama, kini harus menuruti kehendak
'massanya' yang lebih memilih untuk berbahasa nasional (bahasa
Indonesia) atau internasional (bahasa Inggris) daripada bahasa daerah.
Tidak heran apabila kenyataan ini muncul ke permukaan. Usaha
penyelamatan bahasa daerah melalui lembaga keagamaan, seperti gereja,
belum membuahkan hasil (walaupun telah gencar dilakukan, seperti
penerjemahan Alkitab dalam bahasa daerah). Berbahasa daerah di kalangan
anak usia sekolah pada era Orde Baru (bahkan sekarang masih ada)
dianggap
'kampungan atau kolot' oleh para pengajar yang mayoritas berasal dari
luar daerah. Larangan berbahasa daerah dengan alasan mendidik generasi
muda agar menjadi lebih mendapat wawasan global ternyata membuahkan
hasil buruk. Kebijakan pendidikan pun belum mengedepankan usaha
pelestarian bahasa daerah. Seringkali orang menganggap bahwa belajar
bahasa daerah tak akan membawa banyak manfaat. Yang dibutuhkan oleh
seorang anak adalah bahasa asing (khususnya bahasa Inggris) untuk
mencapai jenjang karier tertentu, bukan bahasa daerah. Akan tetapi,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa seorang anak justru akan lebih
fasih mengungkapkan pikirannya jika dia menggunakan bahasa ibunya.
Fenomena perubahan kultural-lingual ini sangat menarik untuk dikaji
sekaligus merupakan sebuah tantangan bagi para pemerhati bahasa dan
budaya minoritas nusantara.
Hilangnya bahasa bukan hilangnya konsep,
melainkan yang terjadi adalah orang mengubah perilakunya dan berhenti
mentransmisikan bahasanya
bagi generasinya. Ini berkaitan dengan masyarakat dan bukan diperlakukan
semata-mata sebagai masalah intelektual yang dapat dipecahkan.
Penekanannya
pada ekologi dalam karakter, berfokus pada hubungan antara anggota
masyarakat, lingkungan dan pikiran, serta perasaan generasi penerus
bahasa dan budaya lokal. Jika pembangunan budaya yang multikultural
sangat penting, maka peranan bahasa menjadi sangat kritis, karena budaya
disalurkan melalui bahasa lisan dan tulisan. Demikian halnya bahasa ibu
sama seperti sumber daya alam yang tak dapat diganti apabila sudah
hilang dari muka bumi. Jika demikian, warisan budaya leluhur itu perlu
dikaji dan ditindaklanjuti dengan upaya strategis untuk mengatasi
kesenjangan antara harapan dan kenyataan.
Pelestarian bahasa daerah
Mengutip Mansyur (2007) dalam artikelnya Jangan Sampai Bahasa Ibu
Hilang di Bumi,
setidaknya ada lima tujuan dari upaya pelestarian bahasa daerah, yakni
(1) mewujudkan diversitas budaya, (2) memelihara identitas etnis, (3)
memungkinkan adaptibilitas sosial, (4) menambah rasa aman bagi anak
secara psikis, dan (5) meningkatkan kepekaan linguistik. Kelima tujuan
di atas sangat penting untuk diperhatikan. Hal ini tidak terlepas dari
peran bahasa daerah sebagai sarana atau gudang buah pikiran dan perasaan
penutur. Karena itu, membiarkan sebuah bahasa daerah tak terlestarikan
dimaknai sebagai sebuah kesengajaan.
Lalu, bagaimana tindakan
pelestarian dapat dilakukan? Semua pihak di propinsi ini, tidak
terkecuali guyub tutur bahasa daerah, perlu melakukan tindakan nyata.
Daerah lain, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sulawesi
Selatan, dan beberapa daerah di Sumatera patut dicontohi oleh NTT.
Setidak-tidaknya ada lima hal yang harus dilakukan dan diyakini mampu
memperkuat kedudukan dan fungsi, bahkan meningkatkan prestise bahasa
daerah.
Pertama, pemerintah daerah menerbitkan peraturan daerah
(Perda) yang mengatur tentang bahasa daerah setempat. Sebagai contoh
bahasa Sunda di Jawa Barat. Pemerintah daerah menerbitkan Perda Nomor 5
Tahun 2003 tentang pemeliharaan bahasa, sastra, dan aksara daerah
(termasuk penyusunan bahan ajar muatan lokal), dan dua perda lain yang
mengatur tentang pemeliharaan kesenian dan pengelolaan kepurbakalaan.
Memang itu penting karena perda dapat menjadi fondasi kebijakan
perencanaan bahasa yang menempatkan bahasa daerah sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari strategi atau politik kebudayaan daerah. NTT juga
memiliki Perda No. 05 Tahun 2001 yang mengatur tentang penelitian dan
pembinaan bahasa dan sastra Indonesia dan daerah. Sejak tahun 2001 pula
dilakukan pengkajian bahasa daerah di NTT yang kemudian dilanjutkan
dengan penyusunan bahan ajar muatan lokal untuk sekolah dasar (SD). Ini
sebuah tindakan top-down yang berharga dan karena itu perlu dihargai.
Respon positif yang diharapkan dari guyub tutur untuk menyambut tindakan
pemerintah tersebut pun masih minim. Justru yang ditemui oleh anggota
tim di lapangan adalah kritikan tanpa ada solusi gemilang. Hal ini
menunjukkan bahwa kebijakan top-down perlu memperhatikan apa yang ada di
guyub tutur, dibanding bergantung pada giliran proyek yang birokratis
dan sarat nuansa koruptif. Kebijakan pemerintah memang penting, namun
kerja sama dengan masyarakat penutur lebih penting, dan yang terpenting
adalah keterlibatan langsung anggota masyarakat penutur. Hal ini juga
selaras dengan tuntutan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 40 Tahun
2007 tentang Pedoman bagi Kepala Daerah dalam Pelestarian dan
Pengembangan Bahasa Negara dan Daerah.
Kedua, pemerintah bekerja
sama dengan masyarakat mendirikan pusat studi bahasa dan budaya daerah.
Pusat ini penting untuk melakukan kajian-kajian yang interdisipliner
seputar bahasa dan budaya daerah. Selain itu, pusat ini dapat melakukan
pertemuan-pertemuan ilmiah, seperti konferensi, kongres, dan diskusi
lainnya dan menghasilkan karya-karya untuk dipromosikan baik dalam
negeri maupun luar negeri. Pemikiran para pakar bahasa dan budaya yang
dihasilkan dapat dijadikan referensi bagi pemerintah dalam membuat
kebijakan.
Ketiga, mendirikan penerbit yang khusus menerbitkan
karya-karya anak daerah mengenai bahasa dan budaya maupun kesenian
lokal. Dengan demikian, hasil karya anak daerah tidak lagi diurus oleh
orang luar yang hampir pasti menelan banyak biaya dengan kualitas yang
tidak memuaskan.
Keempat, mendirikan yayasan penyandang dana
yang berfungsi melakukan koneksi atau lobi baik di dalam negeri maupun
di luar negeri untuk mendapat sponsor demi kelancaran kegiatan
kebahasaan. Ini sangat penting karena banyak penyandang dana luar
negeri, seperti ELDP (Endangered Languages Development Program) di
London, Volkswagen di Jerman, dan masih banyak yang lain, sangat peduli
dengan kegiatan
kebahasaan (dokumentasi bahasa terancam punah), namun dana-dana yang ada
cenderung mengalir ke kantong-kantong perorangan yang sudah go
international. Sementara itu, masyarakat pemilik bahasa hanya bisa
memandang keheranan, tapi tidak memahami apa yang harus dilakukan.
Kelima,
menerbitkan koran atau majalah yang menulis tentang bahasa dan budaya
daerah. Memang pers sangat memegang peranan di era modern ini. Walaupun
agak sulit menerbitkan koran atau majalah dalam bahasa daerah, tapi ini
penting untuk dipertimbangkan. Bahasa-bahasa daerah di NTT pada dasarnya
tidak memiliki tradisi tulis. Karena itu, dengan adanya koran, paling
tidak, ada sosialisasi sistem tulis bahasa itu. Misalnya, mulai tahun
2000-an dilakukan penelitian bahasa Kupang dan telah menghasilkan
terjemahan Alkitab dalam bahasa Kupang. Ini patut dihargai. Akan tetapi,
jauh sebelumnya koran lokal Pos Kupang telah memberi ruang untuk bahasa
Kupang (walaupun masih kecil) hingga sekarang. Ini
menunjukkan bahwa Pos Kupang telah memainkan peranannya dalam
melestarikan bahasa Kupang, sesuai dengan nama koran itu. Sementara
koran lokal lain?
Kelima hal di atas merupakan proposal yang urgen.
Semua pihak, tanpa kecuali, memiliki tanggung jawab dalam upaya
pelestarian bahasa daerah. Akan tetapi, pemerintah mesti menjadi 'motor'
penggerak. Salah satu strategi yang telah dilakukan oleh pemerintah NTT
dan dianggap ampuh dalam upaya pelestarian bahasa daerah adalah bahan
ajar muatan lokal (mulok). Ini sesuai dengan isi Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional pasal 37 ayat 1 yang mewajibkan adanya muatan lokal
pada jenjang sekolah sesuai kondisi institusi masing-masing. Dengan
adanya mulok, bahasa daerah memiliki kekuatan dalam sistem pendidikan
karena sekolah memiliki peranan dalam mengatur kesempatan bagi anak-anak
untuk belajar menurut kerikulum. Selain itu, lingkungan sekolah menjadi
mediator dalam berbagai situasi sosial, kultural, dan agama. Akan
tetapi, sejauh
mana keberhasilan mulok tersebut? Hampir tidak ada evaluasi mengenai
penerapan mulok yang diyakini sangat beragam, tergantung pada siapa yang
memimpin proyek itu.
Agar berbagai upaya yang dijelaskan di atas
dapat direalisasikan dengan baik, maka diperlukan kajian yang mendalam
dan komprehensif terhadap bahasa daerah. Dengan begitu, tata bahasa dan
kamus yang baik dapat dihasilkan untuk pengembangan silabus dan materi
mulok. Selain itu, nilai-nilai budaya, seni, dan lain-lain yang ada di
daerah tersebut dapat terungkap untuk pengembangan pembangunan baik
secara fisik maupun mental. Walaupun demikian, tidak ada program
pengajaran yang berjalan dengan baik tanpa materi yang baik dan materi
yang baik menjadi tidak berguna tanpa guru yang terlatih. Karena itu,
pelatihan terhadap guru mulok juga sangat penting. Guru yang mengajar
bahan mulok pun idealnya berasal dari masyarakat penutur bahasa itu dan
memiliki pengetahuan yang cukup mengenai bahasa dan budaya
setempat.
Setiap bahasa sempurna dalam dirinya. Bahasa internasional
tidak lebih tinggi nilainya dari bahasa nasional dan bahasa daerah.
Ketiganya memiliki nilai yang sama sesuai perannya masing-masing.
Memang, persoalan mempertahankan bahasa daerah atau merevitalisasi
bahasa daerah yang terancam punah sangatlah kompleks, apalagi tuntutan
modernisasi sangat tinggi. Namun, apabila disikapi secara baik, maka
bahasa daerah, bahasa nasional (Indonesia), dan bahasa internasional
(Inggris) menjadi 'tiga batu tungku' dalam perkembangan peradaban
bangsa, khususnya nusa kita tercinta, Flobamorata. *
* Lahir
di Sedeoen, Rote, 11 Desember 1977. Sehari-hari bekerja sebagai Ketua
Jurusan Sastra Inggris STIBA Cakrawala Nusantara Kupang.
No comments:
Post a Comment