Thursday, December 6, 2012

Tentang Dhao


Nama pulau dan bahasa yang dikenal luas dengan istilah “Ndao” sebenarnya mengikuti pelafalan bahasa Rote. Secara linguistik, bahasa Dhao tidak memiliki bunyi klaster konsonan [nd] atau pranasal [nd] . Bunyi yang digunakan dalam bahasa Dhao adalah bunyi dental bersuara yang agak retrofleks dan afrikat yang dilambangkan dengan [ɖ], menggunakan ortografi /dh/ (Grimes, 2010). Selain itu, secara historis, istilah dhao dipercaya berasal dari nama sebuah pohon kecil penghasil warna hitam, dhau ‘tarum’, dengan mengikuti pelafalan salah satu dialek Hawu di pulau Sabu (Balukh, 2007). Hal ini sangat mungkin karena secara genetis Dhao dan Hawu serumpun, yakni subrumpun Bima-Sumba (Grimes, dkk, 1997). Nama pulau yang terindikasi dari nama pohon tarum sangat masuk akal. Orang Ndao yang dalam bahasa Dhao disebut dhèu dhao memiliki ketrampilan menenun dan menempa logam secara alamiah. Warna dasar tenunan Ndao adalah hitam. Warna hitam tersebut pada jaman dahulu terbuat dari rendaman daun tarum. Karena itu, ada indikasi bahwa pada jaman itu, pulau Ndao dipenuhi oleh pohon tarum, baik yang ditanam oleh masyarakat maupun yang tumbuh secara alami, sehingga orang menyebut pulau itu dengan nama dhau yang berarti pulau yang dipenuhi tarum.
Kata ‘bahasa’ dalam bahasa Dhao disebut dengan lii, sehingga lii dhao berarti ‘bahasa Dhao’. Akan tetapi, penutur Dhao sering menyebut bahasa Dhao sebagai lii kahore yang berarti bahasa yang digunakan di sebuah pulau kecil dan bulat. Selain keunikan bahasa Dhao, seperti bunyi implosif dan ketiadaan alternasi struktur, penutur bahasa Dhao sering menggunakan sebuah bahasa lain dalam bahasa Dhao yang disebut lii pacele yang berarti ‘bahasa rahasia’. Lii pacele hanya bisa dipahami dan digunakan oleh orang dewasa karena penggunaannya hanya pada situasi tertentu, misalnya menghindari agar tamu yang mungkin bisa memahami sedikit bahasa Dhao sehari-hari jangan mengetahui apa yang mereka bicarakan. Dengan mengikuti Grimes (2010), saya menggunakan istilah “Ndao” yang merujuk pada nama pulau dan wilayah administratif, sedangkan istilah “Dhao” yang merujuk pada bahasa dan masyarakat penuturnya.

Tentang Rote



Nama bahasa “Rote” diambil dari nama pulau yang memiliki variasi Roti, Rotti, dan Lote. Istilah “Roti” digunakan oleh para peneliti luar yang berbahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, fonem /e/ diucapkan [i], sehingga ortografi bahasa Indonesia menggunakan istilah “Rote” sedangkan bahasa Inggris menggunakan “Roti”. Istilah “Rotti” dimana terdapat fonem /t/ ganda mengikuti sistem penulisan bahasa Belanda, yakni “Rottineesche” yang dalam bahasa Inggris “Rotinese”. Bagi masyarakat Rote, hanya terdapat dua variasi, yakni “Rote” dan “Lote”. Bagi daerah di Rote yang ciri linguistiknya menggunakan bunyi [r], maka penutur dari daerah tersebut mengucapkan “Rote”, sedangkan daerah yang memiliki ciri linguistik [l], maka mengucapkan “Lote”. Fox (1997 : 93) mencatat tiga ungkapan ritual (syair) untuk nama Rote, yakni (1) Lote do Kale yang diperjelas lagi menjadi Lote lolo ei ma Kale ifa lima, (2) Lino do Nes yang diungkapkan dengan istilah Lote nes do Kale Lino. Ungkapan lain bagi nama Rote yang telah dilupakan adalah Ingu manasongo nitu ma Nusa manatangu mula. Sebagaimana bahasa Rote yang memiliki keunikan tersendiri dalam sastranya, setiap daerah (nusak) memiliki ungkapan ritual. Misalnya, nusak Oepao disebut dengan Fai fua do Ledo sou, Diu disebut Diu dulu ma Kana langa, Dela disebut Dela muri ma Ana iko, Tii disebut Tada muri ma Lene kona, dan masih banyak ungkapan lainnya. Berdasarkan sejarah budaya Rote dalam syair, dipercaya bahwa bagian timur Rote menjadi “kepala” dan bagian barat menjadi “ekor”, dan samping utara dan selatan menjadi “sayap”. Artinya, dari bagian timur hingga barat merupakan satu kesatuan tubuh yang tidak terpisahkan. Hal ini juga yang kemudian menjadi filosofi budaya Rote yang diangkat oleh pemerintah Kabupaten Rote-Ndao pada lambang kabupaten dengan semboyan Ita Esa yang berarti ‘kita adalah satu kesatuan’.

Situasi Kebahasaan di Rote-Ndao



Berbagai hasil kajian terdahulu tidak secara khusus membuat klasifikasi bahasa berdasarkan wilayah pemerintahan. Akan tetapi, hasil penelitian tersebut telah memberi gambaran bahwa di wilayah Kabupaten Rote-Ndao terdapat dua bahasa, yakni bahasa Rote dan bahasa Ndao. Pandangan mengenai variasi bahasa Rote di Kabupaten Rote-Ndao sangat beragam. Bahasa Rote, yang wilayah pemakaiannya meliputi pulau Rote dan Timor dengan jumlah penutur berkisar 200.000 orang, memiliki beberapa variasi yang sejak abad ke-18 dibagi berdasarkan wilayah geografis di pulau itu. Hal ini sangat beralasan karena wilayah Rote dengan topografi yang berbukit-bukit memungkinkan masyarakatnya hidup berkelompok secara terpisah-pisah. Namun lebih dari itu, para pakar bahasa dan budaya membuat pengelompokkan variasi bahasa di Rote berdasarkan bunyi bahasa yang digunakan oleh penutur. Fox (1986) menyebutkan bahwa bahasa Rote memiliki sembilan dialek dengan 18 subdialek, sedangkan Grimes (1997) menyatakan bahwa bahasa Rote memiliki tujuh dialek, dan Pusat Bahasa (2008) melaporkan hanya ada enam dialek. Tentu, pengelompokkan yang berbeda tersebut dilakukan berdasarkan kajian teoretis yang berbeda pula. Grimes (1997) mengatakan bahwa kompleksitas internal pada bunyi bahasa Rote menjadi sebuah tantangan tersendiri. Namun, secara geografis memang tidak dapat disangkali bahwa terdapat 18 wilayah pemakaian bahasa Rote berdasarkan wilayah ex-nusak.
Berbeda dengan Rote, Ndao yang hanya merupakan sebuah pulau kecil di bagian barat Rote menggunakan satu bahasa saja, yakni bahasa Dhao. Bahasa Dhao dengan jumlah penutur kurang lebih 3000 orang yang wilayah pemakaiannya meliputi pulau Ndao dan sebuah wilayah kecil di daerah pantai barat Ba’a, Kecamatan Lobalain, bernama Namo Ndao. Para peneliti terdahulu (Walker, 1982; Grimes, 2006) mengakui bahwa bahasa Dhao tidak memliki variasi bahasa (dialek). Walaupun demikian, bahasa tersebut memiliki beberapa ciri linguistik yang dianggap unik, di antaranya ciri fonologi yang memiliki empat fonem konsonan implosif, yakni /b’/, /d’/, /g’/, dan /j’/. Ciri fonologis tersebut tidak ditemukan dalam bahasa Rote. Secara genetis, memang, bahasa Dhao dan bahasa Rote berbeda. Bahasa Dhao merupakan rumpun Bima-Sumba yang memiliki kemiripan bunyi bahasa dengan bahasa Sawu dan bahasa-bahasa di Sumba. Sementara itu, bahasa Rote merupakan rumpun Ambon-Timor yang mirip dengan bahasa Uab Meto dan Tetun. Akan tetapi, secara tipologi grammatikal, bahasa Dhao berbeda dengan bahasa Sawu dan lebih mirip dengan bahasa Rote. Hal tersebut sangat beralasan mengingat kedekatan secara geografis dan hubungan ekonomi-politik antara Rote dan Ndao yang telah berlangsung sejak jaman Belanda. Perkembangan komunikasi yang semakin modern tidak menutup kemungkinan adanya interferensi antara bahasa Rote dan bahasa Dhao. Hal ini terlihat dari berbagai kosakata dalam bahasa Dhao yang mirip atau sama dengan bahasa Rote. Selain itu, ada kemungkinan terjadinya pengaruh bunyi bahasa Dhao pada bahasa Rote yang dituturkan di bagian barat, seperti Dela-Oenale oleh karena intensnya interaksi sosial kedua daerah tersebut. (bersambung...)