Nama pulau dan bahasa yang dikenal luas dengan istilah
“Ndao” sebenarnya mengikuti pelafalan bahasa Rote. Secara linguistik, bahasa
Dhao tidak memiliki bunyi klaster konsonan [nd] atau pranasal [nd] .
Bunyi yang digunakan dalam bahasa Dhao adalah bunyi dental bersuara yang agak
retrofleks dan afrikat yang dilambangkan dengan [ɖ], menggunakan ortografi /dh/ (Grimes, 2010). Selain itu, secara historis,
istilah dhao dipercaya berasal dari
nama sebuah pohon kecil penghasil warna hitam, dhau ‘tarum’, dengan mengikuti pelafalan salah satu dialek Hawu di
pulau Sabu (Balukh, 2007). Hal ini sangat mungkin karena secara genetis Dhao
dan Hawu serumpun, yakni subrumpun Bima-Sumba (Grimes, dkk, 1997). Nama pulau
yang terindikasi dari nama pohon tarum sangat masuk akal. Orang Ndao yang dalam
bahasa Dhao disebut dhèu dhao memiliki ketrampilan menenun dan
menempa logam secara alamiah. Warna dasar tenunan Ndao adalah hitam. Warna
hitam tersebut pada jaman dahulu terbuat dari rendaman daun tarum. Karena itu,
ada indikasi bahwa pada jaman itu, pulau Ndao dipenuhi oleh pohon tarum, baik
yang ditanam oleh masyarakat maupun yang tumbuh secara alami, sehingga orang
menyebut pulau itu dengan nama dhau
yang berarti pulau yang dipenuhi tarum.
Kata ‘bahasa’ dalam bahasa Dhao disebut dengan lii, sehingga lii dhao berarti ‘bahasa Dhao’. Akan tetapi, penutur Dhao sering
menyebut bahasa Dhao sebagai lii kahore
yang berarti bahasa yang digunakan di sebuah pulau kecil dan bulat. Selain
keunikan bahasa Dhao, seperti bunyi implosif dan ketiadaan alternasi struktur,
penutur bahasa Dhao sering menggunakan sebuah bahasa lain dalam bahasa Dhao
yang disebut lii pacele yang berarti
‘bahasa rahasia’. Lii pacele hanya
bisa dipahami dan digunakan oleh orang dewasa karena penggunaannya hanya pada
situasi tertentu, misalnya menghindari agar tamu yang mungkin bisa memahami sedikit
bahasa Dhao sehari-hari jangan mengetahui apa yang mereka bicarakan. Dengan mengikuti Grimes (2010), saya menggunakan istilah
“Ndao” yang merujuk pada nama pulau dan wilayah administratif, sedangkan
istilah “Dhao” yang merujuk pada bahasa dan masyarakat penuturnya.
Thursday, December 6, 2012
Tentang Rote
Nama bahasa “Rote” diambil dari nama pulau yang memiliki
variasi Roti, Rotti, dan Lote. Istilah “Roti” digunakan oleh para peneliti luar
yang berbahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris, fonem /e/ diucapkan [i], sehingga
ortografi bahasa Indonesia menggunakan istilah “Rote” sedangkan bahasa Inggris
menggunakan “Roti”. Istilah “Rotti” dimana terdapat fonem /t/ ganda mengikuti
sistem penulisan bahasa Belanda, yakni “Rottineesche” yang dalam bahasa Inggris
“Rotinese”. Bagi masyarakat Rote, hanya terdapat dua variasi, yakni “Rote” dan
“Lote”. Bagi daerah di Rote yang ciri linguistiknya menggunakan bunyi [r], maka
penutur dari daerah tersebut mengucapkan “Rote”, sedangkan daerah yang memiliki
ciri linguistik [l], maka mengucapkan “Lote”. Fox (1997 : 93) mencatat tiga
ungkapan ritual (syair) untuk nama Rote, yakni (1) Lote do Kale yang diperjelas lagi menjadi Lote lolo ei ma Kale ifa lima, (2) Lino do Nes yang diungkapkan dengan istilah Lote nes do Kale Lino. Ungkapan lain bagi nama Rote yang telah
dilupakan adalah Ingu manasongo nitu ma
Nusa manatangu mula. Sebagaimana bahasa Rote yang memiliki keunikan
tersendiri dalam sastranya, setiap daerah (nusak)
memiliki ungkapan ritual. Misalnya, nusak
Oepao disebut dengan Fai fua do Ledo sou,
Diu disebut Diu dulu ma Kana langa,
Dela disebut Dela muri ma Ana iko,
Tii disebut Tada muri ma Lene kona,
dan masih banyak ungkapan lainnya. Berdasarkan sejarah budaya Rote dalam syair,
dipercaya bahwa bagian timur Rote menjadi “kepala” dan bagian barat menjadi
“ekor”, dan samping utara dan selatan menjadi “sayap”. Artinya, dari bagian timur
hingga barat merupakan satu kesatuan tubuh yang tidak terpisahkan. Hal ini juga
yang kemudian menjadi filosofi budaya Rote yang diangkat oleh pemerintah
Kabupaten Rote-Ndao pada lambang kabupaten dengan semboyan Ita Esa yang berarti ‘kita adalah satu kesatuan’.
Situasi Kebahasaan di Rote-Ndao
Berbagai hasil kajian terdahulu tidak secara khusus
membuat klasifikasi bahasa berdasarkan wilayah pemerintahan. Akan tetapi, hasil penelitian tersebut telah memberi gambaran bahwa di wilayah Kabupaten Rote-Ndao terdapat
dua bahasa, yakni bahasa Rote dan bahasa Ndao. Pandangan mengenai
variasi bahasa Rote di Kabupaten Rote-Ndao sangat beragam. Bahasa Rote, yang
wilayah pemakaiannya meliputi pulau Rote dan Timor dengan jumlah penutur
berkisar 200.000 orang, memiliki beberapa variasi yang sejak abad ke-18 dibagi
berdasarkan wilayah geografis di pulau itu. Hal ini sangat beralasan karena
wilayah Rote dengan topografi yang berbukit-bukit memungkinkan masyarakatnya
hidup berkelompok secara terpisah-pisah. Namun lebih dari itu, para pakar
bahasa dan budaya membuat pengelompokkan variasi bahasa di Rote berdasarkan
bunyi bahasa yang digunakan oleh penutur. Fox (1986) menyebutkan bahwa bahasa
Rote memiliki sembilan dialek dengan 18 subdialek, sedangkan Grimes (1997) menyatakan
bahwa bahasa Rote memiliki tujuh dialek, dan Pusat Bahasa (2008) melaporkan
hanya ada enam dialek. Tentu, pengelompokkan yang berbeda tersebut dilakukan
berdasarkan kajian teoretis yang berbeda pula. Grimes (1997) mengatakan bahwa kompleksitas
internal pada bunyi bahasa Rote menjadi sebuah tantangan tersendiri. Namun,
secara geografis memang tidak dapat disangkali bahwa terdapat 18 wilayah
pemakaian bahasa Rote berdasarkan wilayah ex-nusak.
Berbeda dengan Rote, Ndao yang hanya merupakan sebuah pulau
kecil di bagian barat Rote menggunakan satu bahasa saja, yakni bahasa Dhao.
Bahasa Dhao dengan jumlah penutur kurang lebih 3000 orang yang wilayah
pemakaiannya meliputi pulau Ndao dan sebuah wilayah kecil di daerah pantai
barat Ba’a, Kecamatan Lobalain, bernama Namo Ndao. Para peneliti terdahulu
(Walker, 1982; Grimes, 2006) mengakui bahwa bahasa Dhao tidak memliki variasi
bahasa (dialek). Walaupun demikian, bahasa tersebut memiliki beberapa ciri
linguistik yang dianggap unik, di antaranya ciri fonologi yang memiliki empat
fonem konsonan implosif, yakni /b’/, /d’/, /g’/, dan /j’/. Ciri fonologis
tersebut tidak ditemukan dalam bahasa Rote. Secara genetis, memang, bahasa Dhao
dan bahasa Rote berbeda. Bahasa Dhao merupakan rumpun Bima-Sumba yang memiliki
kemiripan bunyi bahasa dengan bahasa Sawu dan bahasa-bahasa di Sumba. Sementara
itu, bahasa Rote merupakan rumpun Ambon-Timor yang mirip dengan bahasa Uab Meto dan
Tetun. Akan tetapi, secara tipologi grammatikal, bahasa Dhao berbeda dengan
bahasa Sawu dan lebih mirip dengan bahasa Rote. Hal tersebut sangat beralasan
mengingat kedekatan secara geografis dan hubungan ekonomi-politik antara Rote
dan Ndao yang telah berlangsung sejak jaman Belanda. Perkembangan komunikasi
yang semakin modern tidak menutup kemungkinan adanya interferensi antara bahasa
Rote dan bahasa Dhao. Hal ini terlihat dari berbagai kosakata dalam bahasa Dhao
yang mirip atau sama dengan bahasa Rote. Selain itu, ada kemungkinan terjadinya
pengaruh bunyi bahasa Dhao pada bahasa Rote yang dituturkan di bagian barat,
seperti Dela-Oenale oleh karena intensnya interaksi sosial kedua daerah
tersebut. (bersambung...)
Subscribe to:
Posts (Atom)